Jumat, 22 Juni 2012

Analisa singkat novel Tetralogi Buru dengan "Mocking Modernity - Linden Peach"

Tetralogi buru terdiri dari empat novel bersambung yang dikarang oleh Pramoedya Ananta Toer.. Berlatar zaman kolonial, novel ini menceritakan seorang tokoh utama yang bernama Minke. Dia seorang laki-laki dari anak Bupati Wonokromo yang sangat menentang adat Jawa. Minke juga lulusan dari sekolah HBS yang saat itu setingkat dengan SMA. Namun pembahasan dalam essay ini lebih kepada kategori apa saja yang dikemukakan oleh Linden Peach tentang Mocking Modernity yang dapat ditemukan dalam novel kedua dari tetralogi buru Pramoedya Ananta Toer yang berjudul “Anak Semua Bangsa”.

Pertama adalah Criminal Physiologies. Criminal physiologies disini berarti gambaran masyarakat terhadap pelaku kejahatan. Dalam novel ini yang saya angkat adalah tokoh Darsam. Sebenarnya dia bukan penjahat, namun lebih kepada seorang jawara yang jago berkelahi dan disewa oleh Sanikem untuk menjadi pengaman perusahaan. Perawakan Darsam adalah pria yang berbadan tegap, berkumis lebat, bermuka garang dan kemana-mana selalu membawa parang yang diselipkan di pinggangnya. Seolah-olah iya siap mengeluarkan parangannya ketika ada bahaya yang menghadang. Namun semua itu berubah ketika tangan Darsam terkena timah panas dan tidak bisa dipergunakan sebagaimana mestinya. Iya menganggap bahwa kekuatan dia sebagai jawara telah sirna lantaran tangan kanannya tidak bisa lagi digunakan.


Kedua adalah Inverse Image. Inverse image dalam novel ini terdapat dalam tokoh Sanikem. Sanikem atau bisa disebut juga Nyai Ontosoroh. Nyai pada zaman itu berasal dari status istri simpanan dan juga dianggap sebagai perempuan yang tidak memiliki norma kesusilaan. Statusnya sebagai seorang Nyai telah membuat Sanikem sangat menderita, karena ia mengganggap dirinya tidak mempunyai hak asasi manusia yang sepantasnya. Tetapi, Sanikem sadar akan kondisi tersebut sehingga dia berusaha keras dengan terus-menerus belajar, agar dapat diakui sebagai seorang manusia. Sanikem berpendapat, untuk melawan penghinaan, kebodohan, kemiskinan, dan sebagainya hanyalah dengan belajar. Kemudian berlanjutlah cerita hingga akhirnya dia dapat memimpin perusahaan yang diwarisi dari suaminya hingga menjadi perusahaan yang sukses dengan jerih payahnya sendiri.

Ketiga adalah Mocking Modernity. Munculnya angkatan muda China yang menenatang kekaisaran China pada zamannya. Salah satu caranya tidak lagi melakukan tradisi seperti menyisakan dan memanjangkan rambut belakang. Semua itu dilakukan demi memprotes tradisi kekaisaran China dan berharap kekaisaran China yang korup itu tumbang dan digantikan dengan Negara Republik. Para anak muda yang ikut dalam gerakan ini beberapa telah sampai ke Indonesia. Namun usaha yang dilakukan kelompok ini tidak mudah. Salah satu anggota kelompok ini yang bernama Kow Ah Soe pergi ke Surabaya untuk menghimpun dukungan. Dia dibunuh oleh orang sebangsanya yang dikenal dengan kelompok Thong Surabaya yang tidak sependapat dengan dia.

Keempat adalah Community atau kelompok tertentu. Kejahatan terjadi kepada kelompok petani Sidoarjo yang menolak lahan garapannya dijual untuk dijadikan ladang tebu oleh pabrik gula. Misalnya pada kasus salah seorang dari kelompok petani yang bernama Trunodongso, dia tidak mau menjual tanahnya kepada pabrik gula. Namun yang terjadi adalah aliran air ke sawahnya diputus oleh pemerintah kolonial yang bekerja sama dengan pabrik gula. Hal itu secara tidak langsung memaksa dia untuk menjual tanahnya kepada pabrik gula.

Kelima adalah Dangerous Masculinities. Disini Dangerous Masculinities terlihat dari seorang pria yang berkuasa dapat mempersunting perempuan yang mereka mau pada masa itu. Misalnya pada kala itu Herman Mellema bekerja sebagai Administratur di perusahaan gula yang ada di Sidoarjo. Ketika bekerja disana dia menyukai anak perempuan dari pegawainya, anak perempuan itu bernama Sanikem. Dengan mudahnya Herman Mellema meminta kepada orang tua Sanikem agar anaknya mau dinikahi. Lalu atas dasar menuruti perkataan orang tua, Sanikem pun rela di jadikan gundik oleh Herman Mellema.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar