Tulisan ini diambil dari respon papper berdasarkan tiga kali pertemuan mata kuliah Moralitas, Etika, dan Hukum Media, Kriminologi FISIPUI pada tahun 2011.
Ada beberapa kesamaan antara jurnalis dengan ilmuwan yang dijelaskan oleh pengajar. Misalnya jurnalis dan ilmuwan sama-sama menyampaikan kebenaran. Di dunia ini tidak ada kebenaran yang mutlak, yang ada hanya kebenaran relatif (Nurudin, 2005). Saya sangat setuju pada pernyataan Nurudin ini yang sebelumnya sudah dijelaskan oleh pengajar. Sesuatu itu benar menurut orang lain, namun belum tentu benar menurut kita sendiri dan berlaku sebaliknya. Latar belakang dari seseorang juga sangat mempengaruhi pandangan dari seseorang.
Kemudian pengajar menjelaskan juga mengenai kebenaran yang dihasilkan oleh ilmuwan dan jurnalis. Seorang ilmuwan menghasilkan kebenaran dengan melakukan riset dan penelitian tentang masalah-masalah sosial. Kemudian hasil penelitian itu yang akan digunakan oleh masyarakat. Sedangkan jurnalis menyampaikan kebenaran dengan menyampaikan berita yang memuat 5w1h. Secara tidak langsung pertanyaan-pertanyaan yang ada di masyarakat terjawab oleh berita yang disampaikan oleh jurnalis.
Penjelasan berlanjut ke beberapa teori tentang kebenaran. Pertama adalah teori kebenaran korespondensi. Penganut teori kebenaran ini biasanya berasal dari kaum realis. Menurut teori ini kebenaran adalah yang bersesuaian dengan fakta, yang berselaras dengan realitas, yang serasi dengan situasi aktual. Namun pada intinya kebenaran menurut teori korespondensi mengandung dua hal yaitu pernyataan dan kenyataan.
Kedua, teori kebenaran koherensi. Biasanya yang menganut teori kebenaran ini adalah kaum idealis. Menurut teori ini kebenaran adalah kesesuaian antara satu penyataan dengan pernyataan lain yang sudah terlebih dahulu kita ketahui, terima, dan akui benar.
Ketiga, teori kebenaran pragmatis. Menurut teori ini suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia.
Keempat, teori kebenaran sintaksis. Menurut teori ini pemahaman adalah suatu rekonstruksi yang bertolak dari ekspresi yang selesai diungkapkan menjurus kembali ke suasana kejiwaan dimana ekspresi tersebut di ungkapkan. Teori ini berpangkal pada keteraturan sintaksis atau gramatika. Misalnya pada contoh penyusunan kata di media masa dan akademis. Penyusunan kata dalam media massa terlihat bebas, sedangkat dalam dunia akademis terkesan kaku.
Kelima adalah teori kebenaran semantik. Menurut teori ini suatu proposisi memiliki arti benar ditinjau dari segi atau makna. Persamaannya dengan jurnalis dan ilmuwan adalah tulisan yang disampaikan keduanya harus jelas agar bisa dimengerti oleh masyarakat.
Keenam, teori kebenaran nondeskripsi. Menurut teori ini pengetahuan kini memiliki nilai sejauh pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya pada media massa, dalam penulisan berita media massa terkesan lebih paraktis dan tidak menjabarkan secara keseluruhan. Sedangkan seorang ilmuwan harus memberikan tulisan yang menjabarkan secara keseluruhan.
Terkahir adalah agama sebagai teori kebenaran. Menurut teori ini kebenaran mutlak hanya ada dalam agama masing-masing individu. Kesamaan jurnalis dengan ilmuwan adalah sama-sama sekulur, tidak memakai pendekatan agama.
Pembahasan berlanjut kepada materi hubungan jurnalis dengan ilmuwan. Dalam bahasan ini dibahas mengenai ilmuwan dan jurnalis dalam kacamata akademis. Pertama, baik jurnalis maupun ilmuwan sama-sama memiliki kebebasan berpendapat dan kemandirian. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, seorang jurnalis dalam menulis sebuah berita memiliki kebebesan untuk menentukan angle dari berita dan apa saja yang ingin ia sampaikan. Namun jurnalis sendiri dalam hal menulis berita masih saja terbentur oleh kebijakan dan ideologi suatu perusahaan media. Sedangkan seorang ilmuwan diberi kebebasan untuk meneliti apa saja yang ia inginkan dan menjadikan hasil penelitiannya bermanfaat dalam masyarakat. Kemudian soal kemandirian suatu perusahaan media. Memang hakikatnya perusahaan media itu harus mandiri, namun kembali lagi banyak kepentingan didalamnya yang mempengaruhi pembuatan berita.
Kedua, jurnalis maupun ilmuwan sama-sama memiliki tujuan sosial. Pernyataan ini memang sudah terbukti dengan berita yang dihasilkan seorang jurnalis dan penelitian yang dihasilkan seorang ilmuwan sama-sama memiliki dampak bagi masyarakat. Misalnya pemberitaan bahaya makanan yang di awetkan dengan formalin. Berita itu dilihat oleh banyak masyarakat dan hasilnya masyarakat akan lebih hati-hati dalam memilih makanan. Kemudian ilmuwan memberikan hasil risetnya mengenai dampak formalin yang beredar di masyarakat. Dengan adanya kedua informasi tersebut akan menjadikan masyarakat lebih yakin bahaya dari makanan yang di awetkan dengan formalin.
Kedua, jurnalis maupun ilmuwan sama-sama memiliki tujuan sosial. Pernyataan ini memang sudah terbukti dengan berita yang dihasilkan seorang jurnalis dan penelitian yang dihasilkan seorang ilmuwan sama-sama memiliki dampak bagi masyarakat. Misalnya pemberitaan bahaya makanan yang di awetkan dengan formalin. Berita itu dilihat oleh banyak masyarakat dan hasilnya masyarakat akan lebih hati-hati dalam memilih makanan. Kemudian ilmuwan memberikan hasil risetnya mengenai dampak formalin yang beredar di masyarakat. Dengan adanya kedua informasi tersebut akan menjadikan masyarakat lebih yakin bahaya dari makanan yang di awetkan dengan formalin.
Kemudian selanjutnya dibahas tentang fakta-fakta ilmuwan di Indonesia. Salah satu fakta yang dibahas adalah ilmuwan berbicara di media seolah-olah mewakili ilmuwan lainnya. Padahal setiap ilmuwan bisa saja berbeda pandangan akan suatu hal. Pihak media pun mengarahkan bahwa memang ilmuwan yang tampil di televisi bisa di percaya dan merepresentasikan seluruh ilmuwan. Kedua, ilmuwan yang tampil di televisi di ibaratkan seorang yang sangat ahli dalam bidangnya. Di arahkan bahwa dia mengetahui segala hal yang dibicarakan. Padahal sebenarnya apa yang ilmuwan sampaikan di televisi bisa saja salah. Ketiga, apa yang ilmuwan sampaikan di televisi biasanya bukan hasil dari penelitian yang ia lakukan, bahkan lebih banyak bersifat common-sense.
Ada beberapa kecenderungan pemberitaan yang dilakukan oleh media. Pertama, satu kasus yang terjadi mengakibatkan universalisasi kasus. Misalnya saja pada kasus pemerkosaan yang terjadi dalam angkutan umum. Pada pemberitaan media berusaha mengarahkan penontonnya agar percaya bahwa kasus pemerkosaan itu sering terjadi. Selain itu akngkutan umum juga berbahaya untuk dinaiki. Hal yang dilakukan media biasanya dengan cara menyampaikan berita tersebut secara berulang-ulang. Namun bisa juga dengan membuat kilasan kasus-kasus yang sudah pernah terjadi sebelumnya. Kedua, mengenai pemberitaan media yang mutlak. Dimana media dalam penyampaian beritanya seakan-akan berbicara bahwa berita yang disampaikan memang benar-benar terjadi dan tidak dapat di ganggu gugat. Ketiga yaitu media tidak biasa menggunakan teori-teori post-modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar