Kamis, 28 Juni 2012

Burung kakaktua

Aku hanyalah seorang burung kakaktua dalam sangkarnya. Aku dapat nama itu dari majikanku, namun Aku tak tau arti sebenarnya. Aku selalu meniru, meniru suara apa saja yang aku dengar. Aku yakin memang itu yang harus kulakukan. Aku sendiri kesepian di sangkar ini. Aku hanya ditemani majikanku, dialah yang memberi aku makan dan minum setiap hari. Aku sering melihat sekeliling sangkar, banyak sesuatu yang aku sendiri tidak tahu apa. Aku hanya melihat dan aku pun tak tahu melihat untuk apa. 

Aku pernah melihat majikanku duduk di depan sebuah kotak yang mengeluarkan cahaya. Aku melihat didalamnya banyak sejenis dengan majikanku berlarian menendangi sesuatu yang bulat. Aku kemudian melihat majikanku meloncat dan berteriak goaaaaal dengan gaduhnya. Aku hanya mengikuti majikanku berteriak goaaaaal. Aku kira memang seharunya aku lakukan itu. Aku sendiri tak tau makna sebenarnya dari itu apa.

Aku sangat senang ketika sejenis dari majikanku datang. Aku senang karena dia membawa sejenisku dan sangkarnya didirikan disamping sangkarku. Aku kagum melihat dia sangat pandai sekali meniru suara majikannya. Aku anggap dia hebat, dan seketika dia menjadi panutanku. Aku harus bisa seperti apa yang dia lakukan. Aku berjuang keras mencapai titik itu. Aku harus bisa pandai meniru suara lebih dari dia. Aku lakukan usaha demi usaha. Aku lakukan lagi usaha demi usaha. Aku usaha lagi dan lagi… Aku kemudian diam, berfikir sejenak, dan merasa waktu telah lama berlalu. Aku mencapai titik kejenuhan mungkin.

Aku tak bisa seperti panutanku. Aku berfikir kenapa aku harus berusaha seperti panutanku. Aku hanya tahu, aku adalah aku dan bukan dia. Aku kembali lagi diam, entah mengapa saat ini aku hanya ingin diam. Aku melihat majikanku berusaha menggodaku dengan suara yang dia keluarkan. Aku tetap memilih diam. Aku melihat wajahnya yang memancarkan kesedihan. Aku dibawanya kedokter, dokter hewan. Aku memandang sekeling diperjalanan. Aku merasa di luar sangkar majikanku banyak sesuatu yang sangat indah. 

Aku melihat sejenisku di jalan, atau mungkin bukan sejenisku karena dia besar, putih dan lebih kekar. Aku melihat dia bersama kawan-kawanya sedang asyik memakan butiran jagung di pinggir jalan. Aku dilihat olehnya, dia berteriak “cobalah rasakan kebebasan”. Aku tak tau apa arti teriakan yang dia lontarkan. Aku melihat wajahnya dan wajah kawan-kawannya penuh dengan senyuman. Aku berfikir, apa yang sebenarnya mereka rasakan. Aku sampai di dokter hewan. Aku dipegang dan diperiksa oleh dokter itu. Aku kemudian melihat wajah dokter dan majikanku keheranan. Aku tidak sedang sakit kata dokter itu. Aku pulang bersama majikanku dengan tangan kosong dari dokter. Aku rasa dokter telah salah dalam menyimpulkan. 

Aku rasa aku sedang sakit, aku tak seperti biasanya. Aku seakan ingin berteriak dengan lantang, aku ini sakit, aku burung kakaktua yang sakit. Aku kembali teringat dengan kata kebebasan yang dia teriakan, apakah itu indah, apakah itu yang membuat dia tersenyum, apa yang dia maksud sebenarnya. Aku sangat kesal ketika mengingat kejadian itu. Aku berfikir kembali, memangnya dia siapa, dia hanya sejenisku, dan tak tau apa-apa tentang diriku. Aku saja berani dengan majikanku, ketika dia berusaha membuatku bersuara, Aku lebih memilih diam. Aku bisa saja memaksa keluar dari sangkarku ini. Aku bisa saja menenggelamkan kepalaku di gelas minuman. Aku bisa saja tak makan berhari-hari dan mati. Aku lah yang bertanggung jawab atas diriku sendiri, bukan majikanku, bukan dia dan bukan siapapun selain dia juga, pikirku dengan keras. 

Aku sudah sakit rasanya, tapi tunggu dulu, aku juga tak yakin kalau aku sakit. aku sebenarnya juga bisa tersenyum dengan mudahnya. Aku diam sejenak… Aku kemudian tersenyum, mencoba berkata, apakah ini arti sebenarnya dari kebebasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar